Kesepakatan bawah pohon
Siang hari sang surya menampakkan kekuatannya sembari menusuk kulit ari semua insan bumi, tanpa memandang bulu. “Panas”, ungkap Ridho sembari mengusap dahinya yang berlumurkan oleh keringat, pertanda ungkapan keadaan siang hari ini yang sangat panas. Dari ketiga teman Ridho satu persatu melucuti dirinya dari tempat yang biasa dipakai nongkrong setiap harinya setelah kurang lebih satu jam berkumpul dan bercanda-canda. Walaupun tempatnya tidak begitu indah tapi mereka dapat menjadikannya sebagai tempat kedua setelah rumah mereka, sebagai perpisahan karena mereka semuanya akan menjalankan kewajibannya masing-masing dan mengejar cita-cita yaitu melanjutkan kuliyah, jadi mereka menyusun rencana agar pertemanan mereka tidakkan sirna oleh waktu dan tempat yang memisahkan dan sekarang mereka membuat kesepakatan untuk berkumpul hanya pada saat liburan dan mereka kembali pulang saja.
Ridho adalah seorang anak yang dari kecil hingga menginjak dewasa ini, dia dididik dan hidup dikalangan agamis. Ayah ustad, Ibu seorang yang terpandang di masyarakat karena ia menjabat sebagai ketua PKK di tempatnya, jadi semua tindakan dia selalu diperhatikan dan menjadi sorotan utama semua masyarakat dan dia menjadi tumpuan dari keluarganya yakni sebagai penerus keluarga karena dialah satu-satunya keturunan dari keluarga Surip.
Saat liburan pertama dari kuliyah mereka kembali pulang dan berkumpul seperti kesepakatan yang telah mereka sepakati sendiri, dan hari ini sungguh sangat berbeda dengan hari biasanya bagi seorang Ridho, dibawah teriknya sinar mentari yang terhalang oleh lelambaian daun nangka dan semilir angin kecil menambah sejuknya tempat itu, mereka berempat atau sahabat sejak kecil itu ngobrol seperti biasa dan saling bercerita dari pengalaman masing-masing, setelah lama berbicang-bincang tiba-tiba salah seorang dari mereka membuat suatu pertanyaan yang tak pernah disangka oleh Ridho,
“gimana dho kamu di tempat barumu sudah punya gebetan belum?” Tanya Anton, salah satu teman Ridho. Ridho pun langsung menatap ke Anton dengan mengerutkan kening pertanda rasa bingung untuk jawab apa.
“pastinya sudah dong, dia kan anak teladan” sesegera sahut Amin, sambil senyum menandakan ejekan sambil bercanda, karena dari mereka semua suka bercanda dan kadang mengejek satu sama lain.
Akhirnya Ridho punya kesempatan untuk menjawabnya disela-sela tawa dari semua temannya,dan dengan penuh santainya “gampang” sembari dia juga ikut tertawa. Padahal di hatinya bertanya-tanya, pacar?, kapan aku punya pacar dan apakah aku berani?.
Wah,,, gini saja, kalau kita besok liburan lagi dan punya kesempatan untuk pulang, kita bawa pasangan masing-masing, gimana?, solusi Anton.
“Dan jika tidak bisa membawa pasangan gimana?”, tanya Achmad.
Jawab Amin: ”Kita suruh aja untuk mentraktir kita semua dan pasangan kita”.
“Oke”, Sahut Anton dan Achmad dengan cepatnya.
Ridho pun tidak bisa berbicara apa-apa lagi, terpaksa dia juga harus meyetujuinya walaupun didalam hatinya merasakan beratnya hal tersebut. Terlintas dalam perasaannya, “oke, aku harus punya pacar”.
Hari-hari dijalani seperti biasanya hingga mendekati liburan, dia baru teringat sama kesepakatan dari teman-temannya untuk membawa pulang atau main bersama pasangannya, dan Ridho pun mulai berfikir dan saat merenung kadang dia dilewati dengan suatu perasaan yang tak tentu, disamping ada keinginan untuk memenuhi kesepakatan dari teman-temannya dan disisi lain dia merasa takut kepada agama dan orang tuanya karena sejak kecil dia diajarkan untuk selalu menjalankan syari’at agama islam dan dalam islam tidak pernah dibolehkan yang namanya pacaran dan malah sering, dia itu ingat kepada pesan ayahnya `jangan pernah sekali-kali pacaran jika kamu masih sayang terhadap agamamu`, pesan saat dia lulus dari MTs, yang merupakan siswa terbaik dari sekolahan tersebut.
Teringat pesan itu seoalah Ridho tidak berani benar terhadap yang namanya pacaran, apalagi dia sudah mendapat ilmu agama dari pondok selama tiga tahun, karena saat dia melanjutkan sekolah lagi yakni MA disuatu sekolah swasta dia sembari berdiam diri di suatu pondok salaf, yang selalu materi pengajiannya adalah ilmu-ilmu salaf (dulu) yang diasuh oleh kyai sepuh. Jadi pengajiannya ajarannya masih asli dengan apa yang ada di kitab dan tidak mencakup pergaulan anak muda saat ini, padahal sejak kelas tiga MTs dia sudah mempunyai yang namanya cinta pertama, tapi semua itu masih bertepuk sebelah tangan dan tak sanggup untuk mengungkapkannya karena dia merasa malu untuk mensosialisasikan perasaanya itu, dan perasaan itu berjalan dengan begitu saja, seolah terjadi keanehan dalam diri seorang Ridho yang dulunya sangat rajin dan tepat waktu, sekarang menjadi lelet (lambat dalam melaksanakan suatu pekerjaan) dan males. Dan terkadang merenung sendirian, ungkap dari semua orang yang menunjukkan kekecewaan terhadap Ridho, hingga ada seseorang yang menanyakan hal tersebut ke Ridho, “kenapa bisa menjadi seperti itu?”. Dan Ridho pun dengan cepatnya membuang perasaan cinta pertamanya tadi jauh-jauh supaya kembali menjadi Ridho yang dahulu lagi.
Sewaktu dia teringat kesepakatan dai temannya dia mencoba untuk dekat dengan seorang cewek yang dia sukai dan saat sudah dekat dan ada kesempatan untuk ngobrol dia pun seolah-plah ada suatu rem yang secara otomatis mengerem mulut si Ridho untuk mengungkapkan perasaanya dan akhirnya dia hanya mampu berbicara seperti biasa dan seolah tak ada apa-apa didalam dirinya. Begitu seterusnya hingga sekarang dan entah sampai kapan lagi.
Akhirnya liburan datang dan mereka semua pulang termasuk Ridho, tepat jam sembilan pagi mereka berkumpul lagi di bawah pohon nangka yang dihiasi oleh batu besar tempat mereka duduk dari dulu hingga sekarang tidak berubah, tapi ada yang berubah yaitu jika dulu cuma ber-empat sekarang menjadi ber-enam yaitu tambah pasangan dari Anton dan Achmad. kesepakatan dari teman-teman terus berjalan dan ketika salah seoarang tidak membawa pasangan, berarti dia harus men-traktir teman-temannya yang lain tambah dengan pasangannya. Pada saat itu Ridho merasa sedikit lega karena bukan hanya dia sendiri yang belum mendapatkan pasangan tapi Amin juga belum, jadi masalah traktir masih ditanggung berdua sama Amin. Setelah berkumpul cukup lama dan saling Tanya mereka pun langsung diajak kesebuah warung bakso di sebelah selatan pohon nangka itu, didalam warung itu mereka bercanda kembali dan saling tanya kabar kuliyah masing-masing hingga tiba saatnya sampailah kesuatu bahasan yang merupakan kesepakatan dari keempat pemuda itu, dan mereka mengetahui yang belum mendapatkan seorang dara pujaan adalah Ridho dan Amin, Amin pun lansung menyambung pembicaraan tadi dengan cepat, dengan tujuan supaya Achmad dan Anton tidak terus-terus mengejeknya dan menanyainya tentang pacar yang saat ini masih pendekatan, yaitu pada seorang cewek teman kuliyahnya sendiri. ”santai saja aku masih dalam proses PDKT“, pertemuan hari itu diakhiri dengan makan di warung tadi dan mereka sekarang pulang, Ridho kembali bareng Amin yang kebetulan rumah Ridho disebelah rumahnya Amin, mereka tampak kecewa karena mereka tadi yang mengeluarkan uang untuk makan, tapi Ridho masih bisa tertawa karena ternyata tidak hanya dia yang belum mendapatkan pacar, dan masih mempunyai teman yaitu Amin.
Hari libur selesai dan mereka kembali lagi masuk kuliyah, tapi disela-sela aktifitas kuliyahnya Ridho masih dalam keadaan bingung antara menjalankan suatu kesepakatan dari teman-teman atau melanggar suatu aturan dalam Islam yakni agama yang sejak kecil dianut dan diyakininya. Begitu seterusnya hingga liburan dan kesempatan berkumpul berkali-kali. Dan setiap bertemu dengan ketiga temannya yang sekarang berbeda universitas itu dia hanya mampu bilang “santai saja aku masih dalam proses”, begitu dan begitu terus jawaban yang keluar dari mulutnya.
Terkadang dia saat melihat sepasang pemuda-pemudi yang sedang mengukir indahya cinta, yang dihiasi angin sepoi membelai mereka, timbul suatu gejolak dalam hatinya “kapan aku bisa kayak gitu?”. Tapi, sahut dalam hatinya lagi ”ingat pesan orang tua dan aturan agama!”. Hal seperti inilah yang membuat dirinya selalu belum bisa memutuskan antara untuk pacaran dan menikmati masa mudanya dengan itu, atau untuk berpegang teguh dengan agamanya yang bisa menjamin kebahagiaan akhirat kelak.
Hingga tiba pada suatu hari saat dia selesai kuliyah dan keluar ruangan dia dihampiri seorang temannya dulu yang dia kenal saat ospek dan memberikan selembar amplop yang berwarna merah muda semisal surat tapi dari seseorang yang dia tidak mengetahuinya, dan teman ceweknya tersebut juga tidak mau mengatakan dari siapa surat tersebut, amplop tersebut ukurannya tidak begitu besar hanya sekitar setengah ukuran dari buku tulis biasa, ternyata isi dari amplop tersebut adalah selembar kertas yang bertuliskan dengan tinta pena warna merah dan sama sekali belum pernah diduga dan terbayangkan oleh perasaan Ridho yang seperti itu,
“Duhai sang mentari, tunjukkanlah keperkasaanmu!
Bersama sesekali angin yang membelah ombak lautan
Yang dihiasi oleh awan-awan yang beterbangan rendah
Menyapa, dan menyapa
Semua insan yang sedang dilanda gelora cinta
Cinta….
Asmara….
Sayang….
itu semua bisa dirasakan
tapi sama sekali tak akan pernah bisa dilukiskan………”
Itulah salah satu puisi yang ada didalam suratnya bagai sang pujangga yang menggoreskan penanya, dan isinya semuanya melukiskan tentang perasaan cinta dan kasih sayang yang besar dan rasa harap, tertuliskan sebuah identitas dibawahnya yang sama sekali dia belum mengenalnya. Surat menyurat dia lakukan hingga beberapa kali lewat Feni (teman ceweknya tadi).
Ternyata setelah surat menyurat seperti pada masa dahulu berlangsung begitu lama, akhirnya dia mengetahui bahwa surat itu dari adik semesternya yang bernama Hanik dan sudah lama memerhatikan dia, yang lebih jelasnya maksud dari surat tadi adalah bahwa Hanik sang dara kesepian mengharapkan Ridho untuk menjadi pacarnya, “ kesempatan ne” desah perasaan Ridho sendiri, tapi seperti biasanya sang jomblo tulen yang sedang menjalani kisah hidupnya itu langsung mendapatkan teguran dari hati nuraninya sendiri.
Hingga tiba pada suatu saat dia dan hanik sepakat mengadakan pertemuan sebatas hanya pingin megetahui siapa sebenarnya hanik dan seperti apa hanik itu.
Pohon besar didepan kampus menjadi sasaran untuk menjalankan misi pertemuan tersebut, teriring sinar mentari yang agak malu dan redup karena sudah sore mengiringi langkah kaki Ridho menuju ke bawah pohon itu. Setibanya Ridho dibawah pohon tersebut dia tidak menjumpai seorang pun selain hanya tukang siomay yang selalu mangkal di bawah pohon itu, dia pun sudah hendak pulang. Waktu menunggu dia laksanakan dan menghabiskanya dengan membaca Koran pemilu yang baru saja dia peroleh dari sueb, seorang kenalan yang profesinya sebagai OB di kampusnya dan dia hendak pulang dari tugasnya, setelah merasa lama menunggu, tiada seorang teman pun yang menemaninya kecuali hanya satu bandel Koran dari pak sueb tadi, Ridho pun melihat ke-hp-nya dan di desktop nya menunjukkan jam 17:20 menit dia masih sendirian juga dan hanik pun belum menunjukkan dirinya, dari janji awalnya adalah jam 16:30 menit, merasa dia sudah menunggu lumayan lama Ridho pun memutuskannya untuk meninggalkan tempat tersebut dengan muka tertekuk menandakan rasa kesal dan sakit hati karena dia merasa sudah dipermainkan oleh seorang yang belum dikenalnya, merasa dia tidak pernah mempermainkan janji terhadap seseorang, dia pun merasakan betapa sakit hatinya yang merupakan pengalaman sakit hati yang pertama baginya akibat dari seorang cewek.
Walaupun dia sudah memaafkan orang yang telah mengerjai-nya namun dia belum bisa menghapuskan dan melupakan rasa sakit hatinya, dan sekarang Ridho menjadi seorang yang superhati-hati terhadap yang namanya membuat janji dengan cewek dan tak mudah percaya kepada orang lain lagi. Sejenak saat rasa sakit hati itu masih ada di hati, kesepakatan dari teman-temannyapun tidak terpikirkan lagi dan akhirnya dia membuat keputusan untuk berusaha melupakan tentang apa itu pacaran. Akibat dari kekecewaan dan rasa sakit hati tadi, dia merenungkan sejenak dan hampir setiap malam bangun dan shalat tahajud dan dia berdoa meminta terhadap tuhannya untuk memberikan yang terbaik bagi perjalanan hidupnya dan dalam perjalanan pencarian jati dirinya. Dan sekarang dia sudah bulat untuk membuat suatu keputusan bahwa dia tidak akan pacaran kecuali jika dia sudah menikah kelak) *(pacaran setelah nikah untuk meninggalkan maksiat).
Keputusan yang telah dia ambil dia jalankan dengan penuh tanggung jawab dan mencoba untuk konsisten terhadap apa yang telah menjadi keputusan dia, Ridho mengambil berbagai langkah untuk melupakan kesepakatan dari teman-temannya, melalui beberapa hal antara lain, dia sekarang menjadi aktif dalam beberapa organisasi kampus yang menjadikannya manusia supersibuk.
Kesibukan organisasi dan tugas-tugas kuliyah memang mampu menjadikannya lupa terhadap kesepakatan dari teman-temannya yang mengharuskan mempunyai pacar, kesibukan demi kesibukan dia jalani sebagai makanan sehari-hari hingga waktu semester pun usai dan kini tiba saatnya liburan akhir tahun, namun dia sudah memutuskan bahwa liburan ini dia tidak akan pulang bertemu dengan teman-temannya, akhirnya ketiga temannya Amin, Anton dan Achmad berkumpul hanya bertiga bertambah pasangan masing-masing, dibawah pohon nangka dan yang sudah menjadi markas mereka.
Ridho sekarang sudah membuat jadwal pulangnya yaitu jika ada libur tanggal merah saja dan liburan akhir tahun tidak pulang.
Liburan akhir tahun ini dia tidak pulang dan hanya cukup mengirim kabar kepada orang tuanya dan teman-temannya lewat sms saja dengan alasan dia sibuk dengan organisasinya di kampus, padahal aslinya didalam hatinya dia ingin menghindari dari teman-temannya yang menuntut untuk mempunyai pacar yang menurutnya tidak ada keuntungannya bagi kehidupan akhirat kelak. Begitu seterusnya.
Pertemuan di taman hening
Tamparan berkali-kali dari lelaki itu membuat tubuh sih terhuyung-huyung. Perempuan itu jatuh tertunduk di sudut kamar setelah pelepisnya terbentur ujung lemari kayu yang lancip. Darah menetes dari sana, juga dari bibirnya yang seakan pecah.
Ayo, pukul lagi, kas! Pukul lagi! Matikan aku! Matikan!
Suara itu menjelma raungan, tapi hanya mampu didengarnya dari bilik sanubari sendiri.
Kas mendengus. Cuping hidung lelaki tegap tegap itu membesar dan nafasnya terdengar begitu menderu. “perempuan bodoh!” teriaknya sekali lagi sebelum ia membanting pintu.
Sih sudah tidak punya air mata.kebisuan kembali merengkuhnya. Ia rasakan sekujur tubuhnya menggigil. Ada dingin yang menyengat-nyengat, lalu luka yang menyergap-nyergap.
“kita akan menikah, sih. Kau yang paling perempuan di jagad ini. Aku tak akan melepaskanmu!’
Dimata sih, semnyuman kas seprti itu lengkungan pelangi terbalik yang menghiasi cakrawala. Pendarnya menggetarkan pojok-pojok sunyi dalam galau diri sih.seperti juga kas, pada waktu itu sih tak pernah berfikir ada lelaki yang lebih sempurna , yang tuhan ciptakan selain kas. Kas hanya dapat dikalahkan oleh para nabi, bukan oleh manusia biasa. Apakah yang dimiliki kas? Ia mapan, keturunan baik-baik, berjiwa satria, tampan,pintar.lelaki macam mana lagi yang diperlukan seoarang perempuan selain yang sepperti itu?
“aku akan tetap menulis. Bukan untuk membantumu atau keuangan kita, tapi untuk diriku sendiri. dan kamu, mas.., adalah inspirasiku yang tak pernah habis,” katanya beberapa hari setelah menikah.
Kas mengerjap-ngerjapkan matanya beberapa kali, menggoda sih. Lesung pipitnya yang dalam tampak seketika. Lalu gemas ditekannya kedua pipi sih dengan kedua tangannya yang lebar dan kokoh. “kau boleh melakukan apa saja, cinta,” katanya bagai penyair pemula. “tahukah kau? Aku menikahimu karena engkaulah pengarangku. Lagi pula, kalau kau ingin bekerja yang lan, silakan. Aku bukanlah seorang sopir dan rumah ini bukan penjara yang akan mengurungmu.” Bisiknya kemudiaqn ditelinga sih.
Lima tahun. Lima tahun kas dan sih berumah tangga. Sih marasakan kebahagiaan bagai air terjun yang menyerbu-nyerbu dirinya. Ia mengenali pelangi semesta yang sama, yang dimiliki semua manusia, berpindah hanya memendari rumah mungil mereka.
Sih tak pernah berhenti mengarang, sesuatu yang ditekuninya jauh sebelum ia bertemu kas. Sementara kas masih pegawai negeri di kecamatan.
Maka hari berkejaran di halaman waktu tak ubah kanak-kanak berlarian di lapangan luas yang tak jauh dari rumah mereka. Dan saat mata sih melihat seorang anak terjatu, ia merasakan kembali keroak luka di batinnya.
Betapa jauh berbedanya kas kini dengan kas yang dikenalnya bertahun lalu. Ia tak boleh salah bicara didepan kas, tak boleh menunjukkan wajah yang murung bila tak ingin lelaki itu menghantamkam yang dulu selalu selalu dipakai membelai sih, ke sekujur tubuhnya bertubi-tubi.kadang tanpa alasan kas mencercau, mencela, mengeluarkan kalimat-kalimat kasar dan menggelegar yang menjadi sengatan-sengatan strum di batin perempuana itu.
Bicara atau tidak, tersenyum atau tidak dihadapan kas, menurut sih tak akan mengubah apapun. Kas sebenarnaya hampir pergi. Setapak lagi, ia akan pergi untuk selama-lamanya meninggalkan rumah mereka. Atau mungkinkah lelaki yang dicintainya akan mengusirnya? Sih mendengar gelegar tawa yang nyelekit itusaat usia pernikahan mereka genap lima tahun. Saat ia bertanya pada kas tentang perempuan itu. Ya, perempuan penari itu. Usai tertawa itulah secara tiba-tiba kas menjambak menjambak rambutnya hingga tubuhnya limbung beberapa saat. Kas meninju mulut sih hingga gigi depannya patah dua! Ketika itu hati sih berdetak. Ia akan kehilangan kas!
Apakah perempuan itu yang membuat kas berubah?
Perempuan penari itu munjul dihadapannya dengan wajah mengejek, seolah berkata: hei, suamimu yang mengejar-ngejar aku. Ia memohon cinta dan berlututdi kakiku. Apa yang telah kau lakukan hingga ia lari dari sisimu?
Ya, apakah? Mengapakah?
Sih kembali mengimgat-ingat. Mungkin ia melakukan sesuatu yang salah atau yang menyakitkan kas. Namun yang ia temukan hanya samudra cinta yang hampir menenggelamkan dirinyapada lara, lima tahun terakhir.
Kas berhubungan dengan perempuan penari yang ayu itu entah sejak kapan. Tetapi luka-luka cinta kian compang-camping dalam dirinya sejak lima bulan lalu saat kas hanya menyentuhnya dengan penuh kebencian.
Dan kini, salahkah bila ia menjalin hubungan dengan lelaki itu? Ya, lelaki dengan mata elang, yang selalu datang dan pamit dengan senyum berjuta kupu-kupu. Sih kerap merasa lelaki itumemiliki kemiripan yang banyak dengan kas.
Beberapa hari ini mereka selaluberjumpa di taman itu. Taman rahasia atau taman putih, begitu sih menyebutnya taman yang tak begitu jauh dari tempat tinggal kas dan sih. Disana memang sepi. Teramat hening malah. Disana juga putih. Sih sendiri juga tak mengerti mengapa taman itu seperti bersalju.tapi di sana penuh pepohonandan bunga-bunga sebagaimana seluruh taman di dunia ini.kupu-kupu, burung-burung kecil melayang-layang. Beberapa diantaranya hinggap di ranting pohon yang coklat atau hijau pekat.mereka menatap sih dan lelaki itu seakan mau atahu apa yang mereka perbincangkan dan lakukan di taman hening itu. Ada yang berdesir. Angina rindu di hati sri. Dan ia menikmati kerinduannya pada lelaki itu.
Sebelumnya sebelum pada Gusti Allah, sih hanya mau bercerita pada bunga, serangga dan burung-burung kecil di sana. Lalu lelaki itu hadir. Ah, ia rindu untuk menimang bayi. Banyak atau satupun tak apa. Sih terkesiap saat menyadari boleh jadi kas berpaling karena kerinduan yang mendesk terhadap kehadiran seorang anak. Seorang anak yang hingga kini belum mampu diberikannya.
“seorang perempuan dihargai karena banyak hal yang membuatnya hadir secara berarti dalam sebuah pentas bernama kehidupan, sih. Ketiadaan seorang anak tak lantas membuatmu menjadi tak berarti,” kata lelaki itu padanya.
Sih memandang lelaki itu dan menikmati setiap ucapannya yang semilir. Ah, andai saja kas yang berucap demikian. Bukankah kas dulu pernah mengatakan hal yang hampir mirip?
“sih…,”tangan lelaki itu menyentuh. Sih ingin menggeser duduknya sedikit, tapi ia tak mampu. Burung-burung bercicit ramai di atas dahan-dahan pohon besar yang menaungi sih dan lelaki itu. Bangku putih menyaksi. Lelaki itu mencium keningnya.
Aku berkhianat, bisik sih. Tidak. Ya, aku berkhianat. Aku telah mencintai lelaki itu. Kau memang mencintainya, dia mencintaimu. Suamimu kasar, suka menganiaya. Suamimu selingkuh? Ya, di depan matamu. Jadi, kau dan lelaki itu. Aku dan lelaki itu. Ia seperti kas. Ia bukan kas. ia kas.
“aku menulis puisi untukmu, sih,” suara lelaki itu terdengar lagi.
“puisi?” lirih sih.
Ia jadi ingat puisi yang ditulisnya untuk kas. Puisi yang tak pernah sampai. Waku itu ia melipat kertasnya bagai pesawat mainan dan menerbangkannya. Sih baru ingin memungutnya, namun angina menerbangkan lagi bersama butiran pasir. Pasir-pasir menimbun kertas itu etengah hati dan tiba-tiba sih tak peduli.
“aku akan membacakannya untukmu,” suara lelaki itu lagi.
Dan sekonyong-konyong sih ingat bunyi puisi yang ditulisnya untuk kas:
Meranggas darahku meranggas. Dan bumi kering,langit pias. Laut kita mati. Tandus berkarib sunyi. Semesta gering mengantarku kembali padamu. Menyelusup pada sejuk alir darah, denyut nadi. Pada curahan keringatmu. Tapi laut kita sudah mati….
“bagaimana puisiku, sih? Sukakah engkau? Apakah suatu hari nanti aku akan jadi pengarang sepertimu? Bagaimana menurutmu?” lelaki itu tertawa, menampakkan gusinya yang merah sega. Mengapa ia seperti kas? Kas juga dulu ingin belajar menulis puisidan cerita……….
Sih merasa ada air hangat di matanya. Lalu air yang dingin menetes-netes membasahinya. Semakin deras.
“hujan,” suara lelaki itu.” Aku akan melindungimu dari hujan,” ia membuka jaketnya, membentangkannya ke tubuh sih. Sih mencium aroma tubuh yang sama dari lelakidan jaket itu. Seperti aroma yang telah menyatu dalam dirinya bertahun-tahun.
Aku akan melindungimu dari segala, juga dari suamimu, “ujar lelaki itu lag. “aku akan membawamu pergi, sih.”
“haruskah aku pergi?” gumam sih. Pergi berarti ia meninggalkan kas selamanya. Pergi artinya memberikesempatan pada penariitu untuk memiliki suami dan rumahnya. Untuk memiliki ranjang mereka.
“demi kau, demi kita,” bisik lelaki itu. “kau tak boleh bertahan dengan lelaki pemberang yang bisanya hanya memukulimu!” kali ini suara lembut itu meneras.
“aku ingin dilindungi. Aku ingin selalu dicintai…,aku ingin…”
“aku akan mencintaimu selamanya, seperti aku mencintai surga,” lelaki itu merengkuhnya. Mereka berjalan menuju pondok kayu di tengah taman hening.pondok yang dibangunlelaki itu dengan tangannya sendiri, untuk sih.
Dingin.
Dalam dekapan dan gelora diri, sih mengenali aroma itu. Ah,ia tak sanggup lagi untuk mengekalkan dusta. Air matanya merembes pada bantal di atas dipan. Sungguh, ia telah menciptakan sejuta lelaki di taman hening itu.sejuta lelaki yang semuanya entah mengapa adalah kas tapi tak sepenuhnya kas. Lelaki-lelaki itu mengatakan mencintainya seperti surga. Kas tak pernah berkata seperti itu.
Sih beristighfar. Perlahan dihapusnya sisa air mata yang ada. Dengan gemetar jari-jari kurusnya mulai bergerak di atas mesin tik. Kas tak akan pulang lagi mala mini. Dan sih, akan pergi ke tempat itu lagi. ke taman hening.
Helvi tana rosa (2001)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar